Sinopsis Film, Review Film, dan Subtitle Film Lengkap Berbahasa Indonesia.

Buy Now

5 December 2016

Superhero Perfilman yang Pernah Dicap Pengkhianat


Buat kalian yang tinggal di Jakarta, mungkin tak asing dengan nama H. Usmar Ismail. Namanya diabadikan menjadi salah satu pusat perfilman yaitu PPHUI atau Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail yang terletak di kawasan Rasuna Said, Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan. Tapi, siapa sih sebenarnya beliau?

Pada akhir tahun ini, nggak basi kalau kita masih ngomongin seputar pahlawan atau superhero. Usmar Ismail, yang lahir di Bukittingi pada 20 Maret 1921 adalah seorang sutradara dan bisa dibilang sebagai seorang pahlawan bagi dunia perfilman nasional. Bagaimana bisa?

Usmar muda sudah tertarik dengan kegiatan berkesenian. Dilansir dari biografinya di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, beliau sudah menjadi wakil kepala bagian Drama di Pusat Kebudayaan di zaman penjajahan Jepang. Lalu bersama rekan-rekannya, seperti Cornel Simanjuntak, beliau mendirikan sebuah tater bernama Maya.

Namun, perang melanda Indonesia dan ibu kota pun dipindahkan ke Yogyakarta. Saat itu, Usmar menjadi seorang prajurit dengan pangkat Mayor. Namun beliau juga memimpin harian Patriot dan majalah Arena, sebagai gelanggang bagi seniman muda, sembari mengetuai Badan Musyawarah Kebudayaan Indonesia, Serikat Artis Sandiwara dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).

Usai Belanda menyerah dan Indonesia merdeka pada tahun 1945, beliau mengundurkan diri dari keprajuritan dan memilih untuk mendirikan PERFINI (Perusahaan Film Negara Indonesia) pada tahun 1950. Sebelum mendirikan PERFINI, Usmar sudah menggarap dua film yaitu HARTA KARUN dan TJITRA, keduanya dirilis pada tahun 1949.

Setahun kemudian, PERFINI mulai memproduksi film pertamanya yang berjudul DARAH DAN DOA (LONG MARCH). Sebagai ketua PERFINI, Usmar sangat idealis dan memandang bahwa film haruslah merupakan hasil karya seni yang bebas dan harus bisa mencerminkan kepribadian nasional.

Sukses dengan film pertamanya, PERFINI terus memproduksi sederet film seperti ENAM DJAM DI YOGYA. Atas dua film tersebut, Usmar mendapatkan beasiswa dari Yayasan Rockefeller untuk belajar perfilman di UCLA (University of California Los Angeles) pada tahun 1953. Sepulang dari belajar, Usmar berduet dengan penulis naskah Asrul Sani menggarap LEWAT DJAM MALAM pada tahun 1954. Tak disangka, film yang dibintangi oleh aktor Bambang Hermanto itu mendapatkan apresiasi dan dianggap sangat berpengaruh di era '50-an.

Sayangnya, di masa tersebut, karyanya yang sangat kritis dan mengkritik politik dan kehidupan sosial, seperti TAMU AGUNG (1955), belum bisa ditangkap dan dinikmati oleh semua kalangan. Seperti yang bisa ditebak, perlahan PERFINI mulai dilanda kebangkrutan hingga pada akhirnya pada tahun 1957, gedung PERFINI disita oleh bank.

Mau tak mau, Usmar harus banting setir dan meninggalkan idealismenya di rumah dan menggarap 3 film yang ringan dan mampu memberikannya sukses secara komersial. Ada TIGA DARA (1956), DELAPAN PENDJURU ANGIN (1957) dan ASMARA DARA (1958). Atas pilihannya ini, Usmar pernah dicap sebagai pengkhianat oleh beberapa kalangan karena tak lagi berpegang teguh pada statementnya saat mendirikan PERFINI.

Namun, beliau membuktikan bahwa kritikan tajam itu tak berpengaruh kepadanya. Pada tahun 1960, beliau menggarap PEDJUANG yang diputar di Festival Film Moskwa ke-2. Beliau tidak sendiri dalam berjuang membesarkan industri perfilman nasional. Di sampingnya, ada Djamalludin Malik, seorang tokoh NU (Nahdlatul Ulama) dan juga produser film.

1 dekade sebelum kepergiannya, Usmar sempat menjadi ketua BMPN (Badan Musyawarah Perfilman Nasional) dan juga LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), serta duduk di DPR pada periode 1966-1969. Namun, Tuhan memanggilnya lebih cepat di usia 49 tahun karena serangan stroke yang menyerangnya pada 2 Januari tahun 1971.

Usmar Ismail meninggalkan kisah perjuangan yang mendalam bagi para pecinta film dan orang-orang yang bergerak di dalamnya. Beliau punya prinsip dan idealisme yang luar biasa hingga mampu membuat karya-karyanya, terutama LEWAT DJAM MALAM dan TIGA DARA, dinikmati hingga sekarang

Bahkan dua karyanya tersebut sudah mengalami restorasi dan DJAM MALAM diputar di ajang Tokyo International Film Festival Oktober 2016 lalu dalam section CROSSCUT ASIA #03 COLORFUL INDONESIA. Karya Usmar ini adalah salah satu film lawas yang sukses masuk di sana bersama deretan karya sineas muda Indonesia.

Salah satu sutradara perempuan yang sangat mengagumi Usmar Ismail adalah Nia Dinata. Di masa kecilnya, dirinya sering menonton film TIGA DARA bersama para tantenya dan kenangan akan keindahan film tersebut melekat hingga ia dewasa.

Oleh karena itu ia menggarap film INI KISAH TIGA DARA yang dibintangi oleh Shanty Paredes, Tara Basro dan Tatjana Akman. Film ini juga menjadi salah satu contender Tokyo International Film Festival 2016, lho.

"Film ini (INI KISAH TIGA DARA) istilahnya inspired by karena memang saya benar-benar terinspirasi. Sejak kecil saya suka nonton film aslinya. Sekarang boleh dong saya bikin menggunakan plot dan cerita saya sendiri. Versi saya ini dibikin dengan kondisi tahun 2016, di mana perempuan Indonesia banyak banget perubahannya," kata Nia.

"Ini era sudah milenial, saya terinspirasi dengan kesensitifan sutradara favorit saya yaitu Usmar Ismail. Karena dia bisa mengangkat cerita perempuan padahal dia laki-laki. Saya terinspirasi dari kesensitifan beliau saat bercerita tentang tiga kakak beradik lajang ini," lanjutnya.

Selain itu, sebuah ajang penghargaan bernama Usmar Ismail Awards juga pertama kali digelar tahun ini oleh Adisurya Abdi. "UIA akan menambah referensi ajang penghargaan insan perfilman Indonesia. Semakin banyak ajang penghargaan jadi semakin baik," ujar Adisurya saat jumpa pers di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (15/1). Atas kerja keras dan dedikasi singkat Usmar Ismail, nggak salah kalau beliau dianggap sebagai salah satu superhero perfilman Indonesia. Siapa superheromu?

(kpl/tch - KapanLagi)


EmoticonEmoticon